Translate

Jumat, 01 Maret 2013

Sifat Seseorang Bisa Dipengaruhi Ukuran Otaknya

Ada banyak orang sukses yang kaya raya, namun hanya segelintir yang sudi menyumbangkan uangnya secara sukarela untuk amal atau kemanusiaan. Di sisi lain, banyak juga orang yang tidak kaya raya namun rajin berderma. Kecenderungan ini ternyata tidak melulu dipengaruhi oleh jumlah uang yang dimiliki, melainkan dipengaruhi juga oleh ukuran otak.

Para peneliti dari University of Zurich di Swiss menemukan adanya variasi jumlah materi abu-abu di daerah otak yang berhubungan dengan kekhawatiran dan keputusan moral seseorang. Daerah otak tersebut terletak antara parietalis dan lobus temporal. Orang yang berperilaku altruistik atau gemar menolong memiliki lebih banyak materi abu-abu di daerah ini.

Dalam laporan penelitian yang diterbitkan jurnal Neuron, peneliti meminta 30 orang relawan untuk menjalani scan otak sambil bermain game komputer. Permainan ini mengharuskan relawan membagi uangnya kepada seseorang yang tidak dikenal.

Relawan yang membuat keputusan dermawan seperti memberikan uangnya kepada orang lain meskipun mungkin merugikan diri sendiri ternyata memiliki lebih banyak koneksi saraf di bagian temporoparietal dibandingkan relawan yang lebih egois.

Hasil scan otak juga menunjukkan aktivitas di temporoparietal junction yang terletak di sisi kanan otak. Hal ini terjadi karena setiap orang mencapai batas maksimum pemberian yang bisa diberikan kepada orang lain. Mendeteksi titik maksimal ini memungkinkan peneliti untuk memeringkat kemurahan hati para relawan secara obyektif.

"Struktur temporoparietal junction sangat memprediksi titik awal seseorang untuk melakukan tindakan dermawan ketika aktivitas di wilayah otak lainnya memprediksi berapa banyak kerugian yang bisa dialami akibat tindakannya tersebut. Temuan ini menjelaskan hubungan antara hardware dan software dari perilaku altruistik manusia," kata peneliti, Yosuke Morishima"

Para peneliti mengatakan beberapa orang lebih murah hati dibandingkan orang lain karena memiliki materi abu-abu di temporoparietal junction yang lebih banyak. Banyaknya materi abu-abu ini juga menegaskan bahwa kecenderungan altruistik tidak akan berubah dalam waktu yang singkat. Misalnya, orang baik tidak menjadi kejam dalam waktu semalam.

"Ini adalah penelitian pertama yang menghubungkan anatomi dan aktivasi otak atas perilaku altruisme manusia. Temuan menunjukkan bahwa perkembangan sikap altruisme melalui pelatihan atau praktek-praktek sosial dapat terjadi melalui perubahan struktur otak dan aktivasi saraf yang diidentifikasi dalam penelitian kami," kata peneliti senior, Ernst Fehr.

Peneliti menemukan bahwa potensi sifat altruisme sudah ada di dalam otak, namun pengambilan keputusan dalam kenyataannya tergantung pada konteks dan biaya yang dimiliki setiap orang.

 Referensi : Detik Health.com

Emotional Quotient


Kecerdasan emosi (emotional quotient / EQ) adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah kejujuran Anda kepada suara hati Anda. Tiga pertanyaan yang selanjutnya kita tanyakan kepada diri kita adalah: Apakah Anda jujur pada diri sendiri? Seberapa halus, dan cermat Anda merasakan perasaan terdalam pada diri Anda? Seberapa sering Anda peduli atau tidak mempedulikannya, saat ia menyeruak keluar dari batin terdalam diri Anda?

Suara hati itulah yang niscayanya menjadi pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.

Covey berpendapat, “Disinilah Anda berurusan dengan visi dan nilai Anda. Disinilah Anda gunakan anugerah Anda –kesadaran diri (self awareness)—untuk memeriksa peta diri Anda, dan jika Anda menghargai prinsip yang benar, maka paradigma Anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan di mana suara hati berperan sebagai kompasnya”.

Namun demikian, seringkali suara hati ini terbenam jauh di dalam diri kita. Suara hati tidak muncul, karena berbagai sebab, berbagai hal dan berbagai kondisi. Apakah yang menyebabkan itu semua. Pada kesempatan lain, akan dibahas mengenai apa saja belenggu-belenggu yang meredam hadirnya suara hati dalam kehidupan kita.

  Sumber: Ary Ginanjar Agustian dalam buku yang berjudul "Emotional Spiritual Quotient".

Intelligence Quotient


Lebih dari seratus tahun yang lalu, tahun 1905, psikolog berkebangsaan Prancis, Alfred Binet,  menyusun suatu test kecerdasan untuk pertama kalinya. Pada awalnya, Binet me-rancang test kecerdasan untuk mengidentifikasi para pelajar yang membutuhkan bantuan khusus, yatu kecerdasan intelektual. Tes kecerdasan ini  bukan untuk mencari anak-anak berbakat istimewa seperti yang berlangsung di kemudian hari. Lebih jauh lagi, Binet ber-usaha memastikan bahwa anak-anak yang memiliki persoalan dalam perilakunya,  tidak buru-buru dianggap bodoh..

Test yang dikembangkan Binet ini kemudian disusun kembali oleh Lewis Terman, (pro-fesor bidang psikologi-Stanford University). Terman memformulasikan suatu skor nilai yang disebut sebagai IQ (Intelligent Quotient). Skor itu diperoleh dengan cara membagi umur mental seseorang (yang didapat dari test kecerdasan Binet) dengan umur sebenarnya atau umur kronologisnya.
Namun, sejarah membawa metoda ini menyimpang jauh. Tes IQ telah mempengaruhi masyarakat dalam memandang potensi individu. IQ dianggap satu-satunya ukuran kemampuan seseorang dalam menghadapi hidupnya (aspek kecerdasan sebagai problem-solving capacity). IQ  dianggap sebagai satu-satunya atribut kemanusiaan yang paling berharga.
Pandangan ini juga dipengaruhi oleh teori kecerdasan yang dipelopori  “sepupu” Charles Darwin, Francis Galton. Akibatnya, hingga  pada akhir abad ke-19  diyakini bahwa orang-orang yang memiliki atribut kecerdasan ini diposisikan pada jabatan kepemim-pinan atau jabatan strategis lainnya. Ketika itu juga di Eropa dan US, berkembang keyakinan bahwa kecerdasan, diwariskan lewat garis keturunan. Oleh karenanya, orang-orang yang kurang cerdas didorong agar tidak berketurunan. Sungguh mengerikan!
Ironis!. Gagasan baik ini telah membatasi kesempatan banyak orang hanya karena potensinya tidak terukur oleh test IQ. Hal ini melahirkan gelombang gerakan protes dari berbagai kalangan. Gerakan anti-IQ yang paling signifikan terjadi di Inggris sekitar tahun 1960-an. Dan, pada tahun 1971 US Supreme Court memutuskan untuk menghapuskan penggunaan test IQ untuk masalah-masalah perekrutan dan kepegawaian, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.
Tak kurang, Dr. Steve Hallam juga protes. Katanya, pendapat bahwa kecerdasan manusia bagaikan angka mati dan diwariskan, adalah tidak tepat. Penelitian  Hallam menunjuk fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil proses belajar.
Cakupan kecerdasan manusia bukan hanya  kecerdasan nalar, matematis dan logis. Makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik.  Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju. (Dr. Steve Hallam, Creative and leader-ship, Colloquium in Business,  2002).
Yang perlu ditekankan bukanlah pada betapa test IQ itu kurang efektif dalam menyeleksi orang, namun pada betapa tes ini telah membentuk konsepsi diri manusia yang parsial dan reduksionistik. Barangkali akan lain halnya, jika metoda test kecerdasan IQ ini muncul dalam masyarakat  yang mampu memandang potensi manusia secara utuh. Besar kemungkinan gagasan IQ ini akan memberikan kontribusi yang positif.
Meski respon kritis atas kecerdasan berbasis IQ ini telah muncul sejak awal kelahirannya, namun baru satu dekade akhir abad ini kita mengenal suatu rumusan-psikologi populer yang mengemas kontribusi para peneliti sebelumnya dengan cukup baik, yaitu kecerdasan emosi.  
Sumber: http://rahasiaotakjenius.blogspot.com/2013/01/perkembangan-teori-intelligence.html

Aktivitas-Aktivitas Otak Besar




1.Alam mimpi
Jika kita menanyakan soal yang sama pada 10 orang, apa yang menyebabkan kita bermimpi? Mungkin anda akan memperoleh 10 jawaban yang tidak sama. Ini dikarenakan misteri yang belum bisa dipecahkan ilmuwan saat ini.


Teori pertama bahwa melalui rangsangan saraf informasi antar molekul otak besar menjalankan latihan terhadap otak besar selama mimpi berlangsung. Teori lainnya adalah orang-orang bermimpi akan tugas dan perasaan yang tidak sempat diperhatikan lagi, dalam proses demikian bisa membantu kita memperkuat ingatan dan pikiran. Umumnya, ilmuwan setuju dengan pengertian bahwa “mimpi bisa terjadi saat tidur sebentar”.

2.Tidur
Dalam sepanjang hidup manusia sedikitnya menghabiskan ¼ waktunya untuk tidur. Tidur sangat vital bagi keberlangsungan hidup makhluk menyusui, tidur dalam jangka yang terlalu lama dapat menyebabkan kurang sadarkann diri, halusinasi, dan pada akhirnya menyebabkan kematian.

Dua kondisi selama tidur berlangsung yakni masa tidur penuh (aktivitas bola mata melambat), saat demikian aktivitas metabolisme otak melambat; dan masa tidur sebentar (saat demikian bisa bermimpi), saat demikian aktivitas otak sangat dinamis.

Menurut ilmuwan bahwa tidur dalam masa sepenuhnya dapat membuat tubuh kita istirahat, menjaga stamina, seperti tidurnya binatang. Tidur dalam masa sebentar dapat membantu membentuk sesuatu yang diingat, namun, pengertian ini belum dibuktikan.

3.Halusinasi
Diperkirakan sekitar 80% orang yang diamputasi pernah mengalami perasaan tersiksa, stres, keinginan, kehangatan dan lain-lain perasaan. Orang yang mengalami fenomena demikian, selalu merasa anggota tubuh yang dipotong masih eksis.

Sebuah penjelasan berpendapat, daerah saraf yang terpotong membentuk hubungan yang baru dengan sumsum tulang belakang, dimana anggota tubuh yang kurang seolah-olah masih ada, terus mengirim sinyal ke otak besar.

Kemungkinan lainnya, otak besar adalah sebuah “kawat” transmisi, ia mengendalikan tubuh yang cacad bagaikan memperlakukan tubuh yang sempurna tanpa cacad, ini berarti otak besar tetap menyimpan kendali ketika anggota tubuh masih dalam keadaan utuh dan sempurna.

4.Tertawa
Tertawa adalah salah satu perilaku manusia yang paling sulit dimengerti. Saat kita tertawa, ada tiga bagian otak besar kita menjadi dinamis yakni: daerah dalam kekuasaan pikiran, ia membuat Anda mendapatkan banyolan (tertawa); daerah gerakan mendorong otot Anda bergerak; daerah emosi (perasaan) membuat kita menyunggingkan senyuman.

Perintis peneliti humor John Morryer mendapati, suara tawa adalah sebuah reaksi yang sangat menarik terhadap 24 cerita yang menyalahi kebiasaan. Dan pengertian lainya menganggap tawa sebagai sebuah saluran yang mengirimkan informasi “menarik (lucu)” kepada orang lain. Dengan demikian tampak jelas: tertawa membuat perasaan kita lebih baik.

Sumber: http://rahasiaotakjenius.blogspot.com/2013/01/4-aktivitas-otak-besar-yang-unik.html

Otak Kecil (Cerebellum)







Cerebellum (Latin for little brain) adalah wilayah otak yang memainkan peran penting dalam pengendalian motor. Hal ini juga terlibat dalam beberapa fungsi kognitif seperti perhatian dan bahasa, dan mungkin dalam beberapa fungsi emosional seperti mengatur respon takut dan kesenangan.

Otak kecil tidak melakukan gerakan, tapi memberikan kontribusi untuk koordinasi, presisi, dan waktu yang akurat. Ini menerima masukan dari sistem sensorik dan dari bagian lain dari kabel otak dan tulang belakang, dan mengintegrasikan masukan-masukan ke motor tune.

Kerusakan pada otak kecil tidak menyebabkan kelumpuhan, tapi malah menghasilkan gangguan dalam gerakan halus, keseimbangan, postur Dalam hal anatomi, otak kecil memiliki penampilan struktur terpisah yang melekat pada bagian bawah otak, terselip di bawah belahan otak.

Selain peran langsung dalam mengendalikan motor, otak juga diperlukan untuk beberapa jenis motor belajar, yang paling penting yang belajar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam hubungan sensorimotor.

Beberapa model teoritis telah dikembangkan untuk menjelaskan kalibrasi sensorimotor dalam hal plastisitas sinaps dalam otak kecil. Kebanyakan dari mereka berasal dari model awal dirumuskan oleh David Marr dan James Albus.

http://neurologi-indonesia.blogspot.com/2011/01/otak-kecil-cerebellum.html